Kamis, 18 Maret 2010


Pada plant Pembangkit Listrik Tenaga Uap, bahan bakar merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembangkitan listrik. Proses pemilihan dan pengolahan bahan bakar yang sesuai pada pembangkit untuk tujuan komersial (fiscal metering) sangat berpengaruh pada kualitas produk, dalam hal ini artinya kestabilan suplay yang dipasarkan pada konsumen.


Harga bahan bakar minyak yang semakin melambung mengakibatkan banyak industri yang beralih menggunakan bahan bakar batubara. Di Indonesia, batubara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batubara jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batubara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp. 6.200/liter). Selain itu jumlah cadangan batubara di Indonesia lebih besar dari pada cadangan bahan bakar minyak bumi.


Hal ini mengacu kepada RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 2005, potensi batubara di Indonesia sebesar 57.842 juta ton yang tersebar terutama di Kalimantan sebesar 30.167 juta ton dan di Sumatera sebesar 27.390 juta ton. Pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun ke depan diperkirakan sebesar 23.000 MW. Sekitar 30,0% dari kapasitas tersebut adalah pembangkit mulut tambang yang akan memanfaatkan batubara berkalori rendah.


Dengan kenaikan harga minyak dunia ada kecenderungan kenaikan harga batubara di pasar international yang berpengaruh kepada harga batubara domestik. Mengingat cadangan batubara kalori rendah (low rank coal) cukup besar dan tidak kompetitif untuk diekspor maka untuk mendapatkan harga energi primer yang lebih murah pemenuhan batubara untuk pembangkit-pembangkit PLTU skala menengah dan besar diarahkan menggunakan low rank coal yang diperkirakan harganya tidak berpengaruh harga international.


Adapun strategi penggunaan low rank coal adalah sebagai berikut :
1. Untuk Sumatera yang cadangan batubaranya umumnya berada di pedalaman dan batubara ini sulit untuk di transportasi ke Jawa (pusat beban) akan dimanfaatkan untuk PLTU mulut tambang yang akan memasok jaringan Sumatera dan sebagian Jawa melalui interkoneksi Sumatera-Jawa. Untuk mendapatkan harga pokok yang lebih rendah dan menghindari resiko jangka panjang kenaikan harga batubara agar pembangunan PLTU mulut tambang diadakan dalam suatu single entity.
2. Untuk batubara Kalimantan yang transportasinya relatif lebih mudah, low rank coal nya dimanfaatkan untuk memasok PLTU skala besar di Jawa-Bali dan PLTU-PLTU skala menengah di luar Jawa-Bali sesuai dengan keekonomiannya.
Sebagian besar potensi batubara tersebut merupakan low grade coal dengan heat content rata-rata 4.800 kcal/kg. Dengan kondisi ini, maka untuk masa mendatang, pembangunan pembangkit batubara diarahkan dengan design boiler yang dapat mengkonsumsi batubara berkalori rendah.


Khusus pembangkit PLTU batubara “mine mouth”, akan diarahkan kepada integrated Project Development antara tambang batubara dan pembangkit mulut tambang, demikian hingga diperoleh jaminan security of supply batubara.
Pembangkit-pembangkit berbahan bakar batubara dirancang untuk memikul beban dasar karena harga bahan bakar ini relatif paling rendah dibandingkan harga bahan bakar fosil lainnya. Namun demikian kendala yang dihadapi adalah dampak emisi yang akan ditimbulkan oleh pembakaran batubara kepada lingkungan di sekitar pusat pembangkit sehingga pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar batubara perlu mendapat perhatian khusus untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan.


Ketidaktentuan dalam ketersediaan dan pengangkutan bahan bakar mengharuskan dilakukannya penyimpanan dan penanganan untuk kebutuhan berikutnya. Kesulitan yang ada pada penyimpanan batubara adalah diperlukannya bangunan gudang penyimpanan, adanya hambatan masalah tempat, penuruan kualitas dan potensi terjadinya kebakaran. Tumpukan cadangan (stock pile) batubara dapat menjadi panas dengan sendirinya . Kemungkinan terbesar penyebab terjadinya hal tersebut adalah proses oksidasi batubara yang bersinggungan dengan udara luar. Proses tersebut akan meningkatkan temperatur batubara sehingga kebakaran dapat terjadi dengan sendirinya (self ignition) bila panas hasil dari reaksi oksidasi tidak dapat dikeluarkan.


Salah satu faktor penting pada proses penyalaan sendiri (self ignition) pada reaksi oksidasi yang terjadi antara permukaan batubara dengan udara adalah bagaimana cara mengantisipasi dan pencegahannya. Dalam penyimpanannya sebelum digunakan sebagai bahan bakar pembangkit, batubara ditumpuk di lapangan pada udara terbuka. Akibatnya reaksi oksidasi yang terjadi akan semakin mudah karena permukaan batubara berkontak langsung dengan udara yang mengandung oksigen di sekitarnya.


Reaksi oksidasi yang terjadi pada permukaan batubara merupakan reaksi eksotermis, yaitu reaksi yang menghasilkan panas. Selain panas yang dihasilkan melalui reaksi oksidasi, batubara juga akan menyerap radiasi dari matahari sehingga panas yang terakumulasikan di dalam tumpukan batubara akan semakin besar. Jika panas yang tersimpan di dalam tumpukan tersebut lebih besar dari pada panas yang hilang ke lingkungan maka akan meningkatkan temperatur batubara di setiap titiknya. Reaksi oksidasi yang terjadi berlangsung terus-menerus sehingga temperatur di setiap titik batubara juga akan terus meningkat. Jika temperatur batubara yang meningkat tersebut mencapai temperatur pembakaran sendiri maka akan terjadi ledakan pada tumpukan batubara tersebut.

5 komentar:

  1. tampilin lebih detail donk...

    BalasHapus
  2. diperbanyak materinya donk.....
    lebih detail tentang knp batubara kok unik????

    BalasHapus