Kamis, 08 April 2010

Desain poster


Gambar di atas adalah contoh poster yang akan kami gunakan untuk PKM nanti. Tapi masih dalam proses pembuatan yang belum fix,,soalnya masih bingung...=.=?
Mohon sarannya yaaaa untuk pembuatan desain poster yang lebih keren dan menarik,,,

Kamis, 18 Maret 2010

Batu Bara dan Pemanasannya


Berbagai penelitian yang telah dilakukan pada batubara, dapat disimpulkan bahwa batubara merupakan bahan bakar padat yang berasal dari makroorganisme terutama tersusun atas lignin dan selulosa yang mengalami perubahan komposisi susunan karena proses biokimia (metamorfosa) pada tekanan dan suhu tertentu dalam rentang waktu yang sangat panjang. Selama proses metamorfosa unsur-unsur O2, N2, H2 dan S secara berangsur keluar dalam bentuk gas sehingga unsur C yang tertinggal dalam persentase yang terbesar.


Secara teknis dan ekonomis Peat (gambut), Brown Coal (batubara muda), dan Graphite tidak dianggap sebagai batubara. Dengan demikian yang disebut batubara mewakili derajat metamorfosa Lignite, Sub Bituminous, Bituminous, Semi Anthracite dan Meta Anthracite.


Klasifikasi Batubara
Berdasarkan derajat metamorfosa batubara diklasifikasikan menjadi:
1. Meta Anthracite
Merupakan batubara dengan kadar karbon tinggi yang mempunyai sifat mendekati Gaphite dalam struktur dan komposisinya. Biasanya susah untuk dinyalakan dan dibakar. Pada saat ini mempunyai arti yang sangat kecil dalam penggunaannya sebagai bahan bakar.
2. Anthracite
Disebut juga sebagai batubara keras, karena kekerasannya, padat dan hitam mengkilat. Agak sukar untuk dinyalakan dan terbakar dengan nyala api pendek, tanpa asap, dan berwarna biru. Penggunaannya terutama pada pemanas ruangan dan sebagai bahan dari karbon. Pada industry besi dan baja digunakan sebagai pencampur bituminous untuk pembuatan coke pada proses pengecoran. Selain itu juga digunakan pada berbagai macam tujuan dimana nyala api yang bersih dan stabil diperlukan.
3. Semi Anthracite
Batubara jenis ini padat tapi agak lemah disbanding anthracite, terbakar dengan nyala api pendek, bersih dan kebiru-biruan. Penggunaannya hampir sama dengan anthracite.
4. Low Volatile Bituminous Coal
Batubara jenis ini berwarna hitam keabu-abuan, mempunyai struktur yang bulat dan mudah pecah dalam pengangkutan. Terbakar dengan nyala api yang pendek dan tidak berasap. Digunakan sebagai campuran high volatile bituminous coal dalam pembuatan coke, pemanas ruangan. Low volatile bituminous coal tidak boleh dikarbonasi sendiri pada oven yang berbentuk selokan karena dapat berkembang dan merusak dinding oven.
5. Medium Volatile Bituminous Coal
Merupakan batubara yang mempunyai sifat antara low dan high volatile bituminous coal sehingga karakteristiknya berada diantara keduanya. Sebagian mempunyai sifat agak lunak dan mudah pecah, sebagian lainnya mempunyai sifat keras dan tidak pecah dalam pengangkutan. Berasap apabila dibakar dengan cara yang tidak baik. Coke yang dibuat dari batubara ini mempunyai kekuatan yang baik sekali.
6. High Volatile Bituminous Coal
Batubara jenis ini mempunyai struktur yang homogen dengan garis-garis yang mengkilat, bersifat keras dan tidak mudah pecah dalam pengangkutan. Berasap apabila dibakar dengan cara yang tidak baik. Mempunyai kadar moisture dan moksigen yang cukup tinggi. Digunakan dalam pembuatan coke dicampur dengan batubara dari mutu yang lebih baik.
7. Sub Bituminous
Batubara jenis ini mempuyai struktur yang homogen, kandungan moisturenya tinggi, dan tidak mudah pecah apabila ditempatkan di udara terbuka Karena penyusutan akibat dari penguapan moisturenya. Penggunaannya terutama untuk pemanas (bahan bakar ketel uap).
8. Lignite
Merupakan batubara yang berwarna coklat kehitaman, mempunyai kadar moisture 30 – 40 % dan panas pambakaran yang rendah. Seperti sub bituminous mempunyai kecenderungan untuk pecah selama pengeringan dengan udara. Lignite digunakan untuk bahan bakar ketel uap dan dapat dibakar dengan menggunakan tungku bakar maupun dengan bentuk serbuk (pulverized form).


Penyimpanan Batubara
Batubara dapat menjadi panas secara tiba-tiba dengan sendirinya dimana kemungkinan terbesar penyebabnya adalah tingkatan (kualitas) batubara yang rendah. Pemanasan terjadi pada waktu batubara pecah dan terkena udara. Proses tersebut akan dipercepat dengan naiknya temperatur. Kebakaran akan terjadi bila panas dari oksidasi tidak dapat dikeluarkan, terutama pada batubara dengan ukuran yang kecil dimana mempunyai luas permukaan perberat yang besar sehingga lebih mudah untuk menjadi panas secara tiba-tiba.
Pencegahan dari pemanasan tiba-tiba adalah merupakan usaha untuk memperkecil kemungkinan oksidasi dan mengeluarkan panas yang terjadi. Beberapa upaya mencegah dan mengurangi pemanasan tiba- tiba yaitu dengan cara :
1). Memadatkan batubara dalam tumpukan berlapis
2). Menyimpan hanya batubara yang berukuran besar
3). Menyimpan batubara dalam tumpukan yang tidak telalu tinggi
4). Dihindarkan dari hembusan angin
5). Menghindari penyimpanan batubara yang terlalu lama di bagian pojok


Pemanasan Sendiri dan Pembakaran Spontan
Pemanasan sendiri suatu material adalah serangkaian reaksi kimia eksotermik dan dengan menghasilkan kenaikan temperatur di dalam suatu material yamg mudah terbakar, tanpa tindakan dari suatu sumber pengapian tambahan. (Banerjee, 1985). Pada umumnya, pemanasan sendiri akan terjadi ketika keseimbangan termal antara dua sisi yang melepaskan panas karena adanya reaksi oksidasi dan panas yang hilang ke lingkungan. Ketika tingkat produksi panas melebihi panas yang hilang, maka di dalam material tersebut akan mengalami kenaikan temperatur dan reaksi kimia yang terjadi juga akan mengalami percepatan.
- Oksidasi Natural Pada Batubara dan Reaksi Kimia
Pada kontak langsung dengan atmosfir hampir semua jenis batubara menunjukkan tanda kerusakan karena iklim, yang mengakibatkan pengurangan nilai kalor, (Banerjee,1985). Faktanya bahwa banyak batubara cenderung akan melakukan pembakaran secara spontan. Resiko ini muncul ketika jumlah panas yang dihasilkan oleh reaksi oksidasi melebihi jumlah panas yang dibuang (didisipasikan) ke lingkungan, melalui konduksi, konveksi atau radiasi. Oksidasi karbon lengkap menjadi karbon dioksida adalah suatu reaksi eksotermik yang mengeluarkan panas antara 21 KJ dan 42 kJ setiap gram batubara dengan pertimbangan batubara tidak terdiri atas karbon murni, (DMT dan BAM, 2000).
Reaksi kimia dan kesetimbangan panas melibatkan low-temperatur oksidasi batubara, Penyerapan kimia dari oksigen pada permukaan batubara mengikuti reaksi sebagai berikut (Gangopadhyay dan Dutt, 2005):

C100H74O11 + 17½ O2 → C100H74O46 + 2.5 x 108 J/kmol O2 ( 2.1)
Pada temperatur di bawah 80°C coal-oxygen stabil kompleks terbentuk sebagai akibat dekomposisi peroxygen dengan reaksi menjadi:

coal + oxygen → coal-oxygen complex + heat (2.2)

Dari temperatur yang rendah pembentukan coal-oxygen kompleks dan timbulnya pembakaran secara spontan, akibat panas batubara yang meningkat. Panas ini adalah bergantung tersedianya cukup udara dan panas yang cukup yang terperangkap di dalam batubara untuk mendukung reaksi itu.
- Reaksi Kimia
Reaksi oksidasi yang terjadi antara permukaan batu bara dan udara merupakan reaksi eksotermis yang menghasilkan panas. Orde reaksi yang terjadi adalah orde satu. Hubungan antara reaksi kimia, konstanta laju reaksi, dan temperatur bisa dilihat dari persamaan Arrhenius (S Banerjee dan A Bhaumik, 2005), yaitu:
ln (k) = ln (A) - EA / RT (2.3)

Dimana
k : konstanta laju reaksi
A : faktor frekuensi (Hertz)
EA : energi aktivasi (Joule)
R : konstanta gas= 8,314 J/mol.K
T : temperatur absolut (K)


Pada plant Pembangkit Listrik Tenaga Uap, bahan bakar merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembangkitan listrik. Proses pemilihan dan pengolahan bahan bakar yang sesuai pada pembangkit untuk tujuan komersial (fiscal metering) sangat berpengaruh pada kualitas produk, dalam hal ini artinya kestabilan suplay yang dipasarkan pada konsumen.


Harga bahan bakar minyak yang semakin melambung mengakibatkan banyak industri yang beralih menggunakan bahan bakar batubara. Di Indonesia, batubara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batubara jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batubara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp. 6.200/liter). Selain itu jumlah cadangan batubara di Indonesia lebih besar dari pada cadangan bahan bakar minyak bumi.


Hal ini mengacu kepada RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 2005, potensi batubara di Indonesia sebesar 57.842 juta ton yang tersebar terutama di Kalimantan sebesar 30.167 juta ton dan di Sumatera sebesar 27.390 juta ton. Pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun ke depan diperkirakan sebesar 23.000 MW. Sekitar 30,0% dari kapasitas tersebut adalah pembangkit mulut tambang yang akan memanfaatkan batubara berkalori rendah.


Dengan kenaikan harga minyak dunia ada kecenderungan kenaikan harga batubara di pasar international yang berpengaruh kepada harga batubara domestik. Mengingat cadangan batubara kalori rendah (low rank coal) cukup besar dan tidak kompetitif untuk diekspor maka untuk mendapatkan harga energi primer yang lebih murah pemenuhan batubara untuk pembangkit-pembangkit PLTU skala menengah dan besar diarahkan menggunakan low rank coal yang diperkirakan harganya tidak berpengaruh harga international.


Adapun strategi penggunaan low rank coal adalah sebagai berikut :
1. Untuk Sumatera yang cadangan batubaranya umumnya berada di pedalaman dan batubara ini sulit untuk di transportasi ke Jawa (pusat beban) akan dimanfaatkan untuk PLTU mulut tambang yang akan memasok jaringan Sumatera dan sebagian Jawa melalui interkoneksi Sumatera-Jawa. Untuk mendapatkan harga pokok yang lebih rendah dan menghindari resiko jangka panjang kenaikan harga batubara agar pembangunan PLTU mulut tambang diadakan dalam suatu single entity.
2. Untuk batubara Kalimantan yang transportasinya relatif lebih mudah, low rank coal nya dimanfaatkan untuk memasok PLTU skala besar di Jawa-Bali dan PLTU-PLTU skala menengah di luar Jawa-Bali sesuai dengan keekonomiannya.
Sebagian besar potensi batubara tersebut merupakan low grade coal dengan heat content rata-rata 4.800 kcal/kg. Dengan kondisi ini, maka untuk masa mendatang, pembangunan pembangkit batubara diarahkan dengan design boiler yang dapat mengkonsumsi batubara berkalori rendah.


Khusus pembangkit PLTU batubara “mine mouth”, akan diarahkan kepada integrated Project Development antara tambang batubara dan pembangkit mulut tambang, demikian hingga diperoleh jaminan security of supply batubara.
Pembangkit-pembangkit berbahan bakar batubara dirancang untuk memikul beban dasar karena harga bahan bakar ini relatif paling rendah dibandingkan harga bahan bakar fosil lainnya. Namun demikian kendala yang dihadapi adalah dampak emisi yang akan ditimbulkan oleh pembakaran batubara kepada lingkungan di sekitar pusat pembangkit sehingga pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar batubara perlu mendapat perhatian khusus untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan.


Ketidaktentuan dalam ketersediaan dan pengangkutan bahan bakar mengharuskan dilakukannya penyimpanan dan penanganan untuk kebutuhan berikutnya. Kesulitan yang ada pada penyimpanan batubara adalah diperlukannya bangunan gudang penyimpanan, adanya hambatan masalah tempat, penuruan kualitas dan potensi terjadinya kebakaran. Tumpukan cadangan (stock pile) batubara dapat menjadi panas dengan sendirinya . Kemungkinan terbesar penyebab terjadinya hal tersebut adalah proses oksidasi batubara yang bersinggungan dengan udara luar. Proses tersebut akan meningkatkan temperatur batubara sehingga kebakaran dapat terjadi dengan sendirinya (self ignition) bila panas hasil dari reaksi oksidasi tidak dapat dikeluarkan.


Salah satu faktor penting pada proses penyalaan sendiri (self ignition) pada reaksi oksidasi yang terjadi antara permukaan batubara dengan udara adalah bagaimana cara mengantisipasi dan pencegahannya. Dalam penyimpanannya sebelum digunakan sebagai bahan bakar pembangkit, batubara ditumpuk di lapangan pada udara terbuka. Akibatnya reaksi oksidasi yang terjadi akan semakin mudah karena permukaan batubara berkontak langsung dengan udara yang mengandung oksigen di sekitarnya.


Reaksi oksidasi yang terjadi pada permukaan batubara merupakan reaksi eksotermis, yaitu reaksi yang menghasilkan panas. Selain panas yang dihasilkan melalui reaksi oksidasi, batubara juga akan menyerap radiasi dari matahari sehingga panas yang terakumulasikan di dalam tumpukan batubara akan semakin besar. Jika panas yang tersimpan di dalam tumpukan tersebut lebih besar dari pada panas yang hilang ke lingkungan maka akan meningkatkan temperatur batubara di setiap titiknya. Reaksi oksidasi yang terjadi berlangsung terus-menerus sehingga temperatur di setiap titik batubara juga akan terus meningkat. Jika temperatur batubara yang meningkat tersebut mencapai temperatur pembakaran sendiri maka akan terjadi ledakan pada tumpukan batubara tersebut.